

Ketika pertama kali mencicipi bubur ayam di salah satu tempat terkenal di daerah Tebet (kira-kira tahun 2005), yang pertama kali ada dibenakku adalah cara makannya itu menurutku bener-bener jorok, mengapa mesti diublek-ublek biar bubur dan toppingnya itu menyatu, apalagi temen-temenku saat itu nambah pake telor mentah yang dimasukin didalam buburnya yang menjadi trademark tempat makan itu, imajinasi bener-bener buruk deh.

Makanya mungkin aku adalah satu dari sekian orang yang tidak pernah mengublek-ublek bubur seperti cara makan yang seharusnya. Bubur ayam Jakarta berbeda dengan bubur ayam kampung tentunya. Bukan dari bahan dasarnya namun dari penyajiannya.

Jika bubur ayam kampung (khususnya Jawa Tengah) partner akrabnya adalah lethok (kuah santan kuning kunyit dengan komposisi tempe & tahu yang dihancurkan, red), maka kalau bubur ayam Jakarta sajian lengkapnya adalah dengan taburan ayam suwir, kacang kedelai, irisan cakwe, seledri, bawang goreng, kerupuk, emping, kecap, kuah santan kuning, serta tak lupa sambal atau bubuk merica jika ingin lebih pedas.
Puluhan tempat bubur ayam yang telah aku sambangi, paling top menurutku adalah bubur ayam Aldiron, walau sebenernya digerobak tertulis bubur Annisa. Tak lain karena letaknya ada di kantin Wisma Aldiron/ satu komplek dengan wisma TNI Auri Pancoran. Meskipun letaknya bukan di tempat yang elite, dijamin mantab.

Bubur ayam Aldiron ini buka setiap hari Senin – Jumat dari jam 6 – 10 pagi lalu buka lagi pukul 4 sore – 8 malam. Kalau Sabtu – Minggu buka pukul 7 – 10 pagi. Terkadang saking ramainya, pukul 9 pagi saja sudah gak kebagian.
Yang menjadikan bubur ini beda dari yang lain, selain tekstur buburnya yang tidak terlalu cair, kuah santannya sangat gurih, porsi serta ayam suwirnya tidak pelit ! hehe.

Satu mangkuk dihargai 5000 rupiah (dari aku menjadi pelanggan dengan harga 3000 perak) dan sate ati ampela/ sate ususnya masih dihargai 1000 rupiah dengan ukuran lebih besar dibanding di tempat lain. (tuning/ 20 Mei 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar